Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada (Mapagama) kembali melaksanakan kegiatan UGM Research Expedition dengan tajuk “Kawal Gambut Kapuas Hulu” di Hutan Kerinung, kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
Ekspedisi yang dilaksanakan pada tanggal 2 hingga 27 September 2019 ini mengusung dua topik penelitian tentang keanekaragaman serangga pada tingkat kematangan gambut berbeda dan pemetaan spasial stok karbon bawah tegakan.
“Gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang unik dan memiliki potensi biotik abiotik yang cukup tinggi sehingga cukup menarik untuk diteliti,” terang Kresna Muharram selaku koordinator tim ekspedisi pada Sabtu (2/9), dalam acara pelepasan keberangkatan tim di Ruang Sidang 1 Gelanggang Mahasiswa UGM.
Kresna juga menyebutkan bahwa tim akan melaksanakan pengambilan data selama 16 hari efektif di lapangan, dengan pengambilan data abiotik berupa kedalaman gambut, kematangan gambut, bulk density, dan kondisi lingkungan (suhu dan kelembapan), sedangkan untuk data biotik yang diambil adalah biodiversitas serangga, biodiversitas burung dan analisis vegetasi (indeks nilai penting).
UGM Research Expedition kali ini dilaksanakan sedikit berbeda karena anggota tim yang tidak hanya berasal dari anggota internal Mapagama, melainkan berasal dari berbagai fakultas di Universitas Gadjah Mada. Seluruh anggota tim telah melalui beberapa tahapan seleksi sejak bulan April (1/4). Komposisi tim terdiri dari 8 orang, mereka adalah Gracia Melsiana A (Pascasarjana 2017), Kresna Muharram (MIPA 2016), Fariz Ardianto (Kehutanan 2016), M Ismail Hamsyah (Ilmu Budaya 2017), Fahrudin Firda Raharja (Sekolah Vokasi 2017), Faizal Musthofa (Geografi 2016), M Khalid Arrasyid (Ekonomikan dan Bisnis 2016) dan Demetria Alika P (Kehutanan 2018).
“Maraknya peristiwa kebarakan hutan (karhutla) yang terjadi pada akhir-akhir ini menarik perhatian masyarakat umum yang mulai merasakan dampaknya. Gambut adalah salah satu kawasan yang sangat rawan mengalami peristiwa kebakaran karena terbentuk dari bahan organik yang mulai terdekomposisi. Musim kemarau yang mulai melanda sejak akhir Juli seakan menjadi katalisator peristiwa karhutla di berbagai wilayah di Indonesia,” jelas Faizal selaku ketua peneliti tim abiotik.