Kamis (22/3) Direktorat Kemhasiswaan UGM mengadakan rapat koordinasi dengan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Yogyakarta dan UKM Peduli Difabel. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas tentang advokasi kampus inklusif bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Kampus inklusif berarti suatu sistem pedidikan di kampus yang menyediakan layanan dan fasilitas bagi penyandang disabilitas sesuai dengan kebutuhannya tanpa dipisahkan dengan mahasiswa yang bukan penyandang disabilitas.
Mukhanif, selaku perwakilan dari PPDI Yogyakarta, mengatakan dalam penerimaan mahasiswa baru yang merupakan penyandang disabilitas harusnya tetap berdasarkan pada kompetensi mereka. Menanggapi hal ini Direktur Kemahasiswaan, Dr. R. Suharyadi M.Sc. mengatakan bahwa Ditmawa tidak bisa secara langsung mengurusi seleksi mahasiswa baru karena hal ini tida termasuk ke ranah kerjanya. “Ditmawa itu hanya mengurus mahasiswa yang sudah ada di sini. Tapi, masukan yang disampaikan saat ini akan saya sampaikan ke Direktorat Pendidikan dan Pengajaran,” katanya.
Selain masalah penerimaan mahasiswa baru, Mukhanif juga menyinggung masalah fasilitas bagi mahasiswa penyandangn disabilitas di UGM. Menurutnya UGM sudah menjadi salah satu kampus yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Hal ini ditegaskan juga oleh Agus Hartono, S.E., M.Ec.Dev. selaku Sekretaris Dirmawa dengan mengatakan bahwa UGM telah menyediakan beberapa fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. “Di UGM telah ada perkuliahan di lantai satu, menyesuaikan dengan adanya mahasiswa penyandang disabilitas. Kami juga menyediakan mobil listrik yang memang sasaran utamanya adalah mahasiswa penyandang disabilitas,” terangnya.
Dr. Ahmad Sholeh, perwakilan PPDI Yogyakarta, mengatakan bahwa sebelum bergerak ke fasilitas, hal utama yang harus dilakukan adalah membuat kebijakan. “Melalui kebijakan ini aturan tentang penyandang disabilitas bisa dibuat sehingga jika terjadi pergantian kepemimpinan semuanya tidak berubah,” katanya.
Dr. Sholeh juga menekankan perlunya sebuah unit pelayanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas. “Langkah pertama mungkin unit layanan ini digabung ke dalam unit yang sudah ada. Namun dalam prosesnya sebaiknya kelak dibuatkan unit layanan baru di bawah wakil rektor,” ungkapnya. Senada dengan itu, Mukhanif mengatakan bahwa unit layanan untuk penyandang disabilitas tidak bisa disamakan dengan UKM Peduli Difabel. Menurutnya unit layanan untuk penyandang disabilitas adalah koordinator antara unit yang di UGM sehingga penanganan terhadap penyandang disabilitas lebih maksimal. “Unit layanan ini juga bisa menjadi unit untuk magang bagi mahasiswa yang peduli difabel,” katanya.
Sebagai salah satu anggota PPDI Yogyakarta, Ujang Kamaludin M.Si. mengatakan bahwa forum ini menjadi sebuah embrio awal dalam membentuk gerakan baru pengembangan program inklusi di kampus. Ujang berharap agar pertemuan ini bisa berlanjut ke tahap audiensi dengan rektor. “Semoga melalui pertemuan ini kita bisa membangun komitmen bersama mengenai pembangunan sebuah kampus inklusif,” harapnya.